Sabtu, 02 April 2011

Pengertian Mashlahah Tahsiniyah

Mashlahah Tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat hajiyat; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.1 Bisa juga segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemulyaan akhlak.2 Bisa juga kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan-Nya sesuai dengan kepatuhan.3 Bisa juga kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya yaitu kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat.4 Kebutuhan Tahsiniah adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat, dan mu’amalat. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyat dan juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hijiyat..5
  1. Tujuan Mashlahah Tahsiniyah
Tujuan tingkat tertier adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tertier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaanya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan.6
Tujuan takhsiniyah itu menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharuri dan hajiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menimbulkan hukum “sunat” dan perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takhsini menimbulkan hukum “makruh”.7
  1. Contoh Maslahah Takhsini
Berdasarkan kepentingan dan kebutuhannya yaitu:
  1. Memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tiggi martabat manusi, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
Contohnya: menutup aurat dan membersihkan badan, pakian, dan tempat. seperti berhias dan berpakian rapi pada waktu ke masjid, menutup aurat8melakukan ibadat sunat sebagai amalan tambahan dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia9;
  1. Memelihara jiwa (Hifzh al-Nafs)
Ditetapkannya kesopanan dan etika.
Contohnya: tata cara makan dan minum, menjauhi hal-hal yang berlebihan, menghindari makanan kotor10
  1. Memelihara akal (Hifzh al-‘Aql)
Kaitannya dengan etiket.
Contohnya: menghindarkan diri dari dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah.
  1. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)
Contohnya:Khitbah atau walimat dalam perkawinan.
  1. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal).
Kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.
Contohnya: menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.11
dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syuf’ah12, spekulasi13 haram melakukan penipuan, memperdaya dan pemalsuan, boros dan terlalu kikir terhadap diri sendiri. Haram memggunakan sesuatu yang najis dan berbahaya. Melarang jual beli yang telah ditawar orang lain, menghadang pedagang sebelum masuk lokasi perdagangan, menaikkan harga(di atas standar)14; juga berlaku pada adat, seperti hemat dan dalam berbelanja15, serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.16
  1. Pandangan Islam mengenai Mashlahah Tahsiniyah.
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu; agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu diantaranya harus didahulukan.
Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan memelihara jiwa, maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk akan mengurbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Taubah (9):41:
و جا هدوا بامولكم وانفسكم فى سبيل الله (التوية:٤١)
Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah”.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan memelihara akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam hal ini umpamanya seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam jiwanya kecuali dengan meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada hanyalah minuman terlarang maka boleh dia meminum khamar yang terlarang itu meskipun sampai ia mabuk karena meminum-minuman.17
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara akal dengan dengan kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal harus didahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu.18
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara harta dengan kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepenntingan memelihara harta. Umpamanya seseorang diperkosa dengan ancaman satu-satunya harta yang dimilikinya akan di musnahkan. Dibenarkan tindakan membiarkan diri dipaksa berbuat zina yang terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa.19
Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu resiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan kaidah:
ما حرم لذا ته أبيح للضرؤرة
Sesuatu yang diharamkan secara zaati dibolehkan karena dharurat.”

Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaanya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan. Oleh karena itu:20
  1. Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuri.
  2. Diperbolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuri.
  3. Diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam akad salam pesanandan pekerja industry, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.
Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia (dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat) di atas dalam mencampai kesempurnaan kemaslahatan yang diinginkan syar’i sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Sekalipun aspek-aspek dharuriyat merupakan kebutuhan yang paling esensial, tapi untuk kesempurnaannya diperlukan aspek-aspek hajiyat dan tahsiniyah. Hajiyat merupakan penyempurna bagi dharuriyat dan tahsiniyat adalah penyempurna bagi hajiyat. Namun aspek dharuriyat adalah dasar dari segala kemaslahatan manusia.21
Sekalipun dikatakan dharuriyat merupakan dasar untuk adanya hajiyat dan tahsiniyat itu tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya dua kebutuhan yang disebut terakhir akan membawa kepada hilangnya eksistensi dharuriyat. Atau, ketiadaan dua aspek itu tidaklah mengganggu eksistensi dharuriyat secara keseluruhan.22
Namun untuk kesempurnaan tercapainya tujuan syar’i dalam mensyariatkan hukum Islam, ketiga jenis kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Dan inilah yang dimaksud bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.23












BAB III
KESIMPULAN
  1. Pengertian Mashlahah Tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
  2. Tujuan Mashlahah Tahsiniyah adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tertier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaanya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan.
  3. Contoh Mashlahah Tahsiniyah adalah takhsini berlaku pada bidang ibadat, seperti berhias dan berpakian rapi pada waktu ke masjid, menutup aurat dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli (syuf’ah) memperdaya dan menimbun barangdengan maksud menaikkan harga perdagangan, spekulasi juga berlaku pada adat, seperti hemat dan dalam berbelanja sopan santun dalam makan dan minum atau dalam pergaulan sehari-hari, menjauhi hal-hal yang berlebihan, menghindari makanan kotor serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
  4. Pandangan Islam mengenai Mashlahah Tahsiniyah
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu; agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu diantaranya harus didahulukan.
Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaanya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan. Oleh karena itu:
  1. Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuri.
  2. Diperbolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuri.
  3. Diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam akad salam pesanandan pekerja industry, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.








DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Prof.Dr.H.Amir,Ushul Fiqh:Jilid 2,2008.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Khallaf Prof.Dr.Abdul Wahhab,Ilmu Ushul Fikih:Kaidah Hukum Islam,2003.Jakarta:Pustaka Amani
Muhammad Syah Prof.Dr.H.Ismail,S.H.,dkk.,Filsafat Hukum Islam.1992.Jakarta:Bumi Aksara
Koto,M.A Prof.Dr.Alaiddin.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh:Sebuah Pengantar Edisi Revisi,2009.Jakarta:Rajawali Press
Djamil,M.A Dr.H.Fathurrahman.,Filsafat Hukum Islam,1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu
Haroen,M.A Dr.H.Nasrun.,Ushul Fiqh 1,1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu


1 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh:Jilid 2,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2008),hlm.328
2Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fikih:Kaidah Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Amani,2003),hlm.299
3 Prof.Dr.H.Ismail Muhammad Syah,S.H.,dkk.,Filsafat Hukum Islam.,(Jakarta:Bumi Aksara,1992),hlm.124
4 Dr.H.Nasrun Haroen,M.A.,Ushul Fiqh 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997).hlm.116
5 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh:Sebuah Pengantar Edisi Revisi,(Jakarta:Rajawali Press,2009),hlm.125
6 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214
7 Ibid
8 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
9 Dr.H.Nasrun Haroen,M.A.,op.cit.,hlm.116
10 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
11 Dr.H.Fathurrahman Djamil,M.A.,Filsafat Hukum Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997).hlm.128-131
12 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214-215
13 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
14 Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,op.cit.,hlm.300
15 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214-215
16 Ibid
17 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.215-216
18 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.216
19 Ibid
20 Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,op.cit.,hlm.303
21 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125-126
22 Ibid.,hlm126
23 Ibid

1 komentar: