Sabtu, 02 April 2011

PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH DAN QAWAID USHULIYYAH

Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
3. : Pengertian Qaidah Ushuliyyah
4. : Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
5. : Kegunaan Kaidah Fikih
6. : Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
7. : Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
8. : Daftar Pustaka
2. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
……......
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail........” (QS. Al-Baqarah : 127).



“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[1]
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :







……......


untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[2]
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”[3]
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”[4]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”[5]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”[6]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”[7]
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
3. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
4. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. Kaidah :
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
5. Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
6. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
a. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
b. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
c. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
d. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
e. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
7. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
a) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
b) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
c) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
d) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
8. Daftar Pustaka
b. Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
b. Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006).
c. Abdul Salam, Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Lembaga Studi Islam, Yogyakarta. 1994).
d. Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar Hukum.


[1] Ali Ahmad Al-Nadwi : Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420 H/2000 M), cet. V. Lihat pula Muhammad al-Ruki : Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1419 H/1998 M), cet. I, hlm. 107.
[2] Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet. I
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[4] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[5] Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm. 11
[6] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet.
[7] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al­-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5

Pengertian Mashlahah Tahsiniyah

Mashlahah Tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat hajiyat; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.1 Bisa juga segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemulyaan akhlak.2 Bisa juga kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan-Nya sesuai dengan kepatuhan.3 Bisa juga kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya yaitu kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat.4 Kebutuhan Tahsiniah adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat, dan mu’amalat. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyat dan juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hijiyat..5
  1. Tujuan Mashlahah Tahsiniyah
Tujuan tingkat tertier adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tertier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaanya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan.6
Tujuan takhsiniyah itu menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharuri dan hajiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menimbulkan hukum “sunat” dan perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takhsini menimbulkan hukum “makruh”.7
  1. Contoh Maslahah Takhsini
Berdasarkan kepentingan dan kebutuhannya yaitu:
  1. Memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tiggi martabat manusi, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
Contohnya: menutup aurat dan membersihkan badan, pakian, dan tempat. seperti berhias dan berpakian rapi pada waktu ke masjid, menutup aurat8melakukan ibadat sunat sebagai amalan tambahan dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia9;
  1. Memelihara jiwa (Hifzh al-Nafs)
Ditetapkannya kesopanan dan etika.
Contohnya: tata cara makan dan minum, menjauhi hal-hal yang berlebihan, menghindari makanan kotor10
  1. Memelihara akal (Hifzh al-‘Aql)
Kaitannya dengan etiket.
Contohnya: menghindarkan diri dari dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah.
  1. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)
Contohnya:Khitbah atau walimat dalam perkawinan.
  1. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal).
Kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.
Contohnya: menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.11
dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syuf’ah12, spekulasi13 haram melakukan penipuan, memperdaya dan pemalsuan, boros dan terlalu kikir terhadap diri sendiri. Haram memggunakan sesuatu yang najis dan berbahaya. Melarang jual beli yang telah ditawar orang lain, menghadang pedagang sebelum masuk lokasi perdagangan, menaikkan harga(di atas standar)14; juga berlaku pada adat, seperti hemat dan dalam berbelanja15, serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.16
  1. Pandangan Islam mengenai Mashlahah Tahsiniyah.
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu; agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu diantaranya harus didahulukan.
Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan memelihara jiwa, maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk akan mengurbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Taubah (9):41:
و جا هدوا بامولكم وانفسكم فى سبيل الله (التوية:٤١)
Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah”.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan memelihara akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam hal ini umpamanya seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam jiwanya kecuali dengan meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada hanyalah minuman terlarang maka boleh dia meminum khamar yang terlarang itu meskipun sampai ia mabuk karena meminum-minuman.17
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara akal dengan dengan kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal harus didahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu.18
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara harta dengan kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepenntingan memelihara harta. Umpamanya seseorang diperkosa dengan ancaman satu-satunya harta yang dimilikinya akan di musnahkan. Dibenarkan tindakan membiarkan diri dipaksa berbuat zina yang terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa.19
Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu resiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan kaidah:
ما حرم لذا ته أبيح للضرؤرة
Sesuatu yang diharamkan secara zaati dibolehkan karena dharurat.”

Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaanya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan. Oleh karena itu:20
  1. Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuri.
  2. Diperbolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuri.
  3. Diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam akad salam pesanandan pekerja industry, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.
Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia (dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat) di atas dalam mencampai kesempurnaan kemaslahatan yang diinginkan syar’i sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Sekalipun aspek-aspek dharuriyat merupakan kebutuhan yang paling esensial, tapi untuk kesempurnaannya diperlukan aspek-aspek hajiyat dan tahsiniyah. Hajiyat merupakan penyempurna bagi dharuriyat dan tahsiniyat adalah penyempurna bagi hajiyat. Namun aspek dharuriyat adalah dasar dari segala kemaslahatan manusia.21
Sekalipun dikatakan dharuriyat merupakan dasar untuk adanya hajiyat dan tahsiniyat itu tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya dua kebutuhan yang disebut terakhir akan membawa kepada hilangnya eksistensi dharuriyat. Atau, ketiadaan dua aspek itu tidaklah mengganggu eksistensi dharuriyat secara keseluruhan.22
Namun untuk kesempurnaan tercapainya tujuan syar’i dalam mensyariatkan hukum Islam, ketiga jenis kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Dan inilah yang dimaksud bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.23












BAB III
KESIMPULAN
  1. Pengertian Mashlahah Tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
  2. Tujuan Mashlahah Tahsiniyah adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tertier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaanya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan.
  3. Contoh Mashlahah Tahsiniyah adalah takhsini berlaku pada bidang ibadat, seperti berhias dan berpakian rapi pada waktu ke masjid, menutup aurat dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli (syuf’ah) memperdaya dan menimbun barangdengan maksud menaikkan harga perdagangan, spekulasi juga berlaku pada adat, seperti hemat dan dalam berbelanja sopan santun dalam makan dan minum atau dalam pergaulan sehari-hari, menjauhi hal-hal yang berlebihan, menghindari makanan kotor serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
  4. Pandangan Islam mengenai Mashlahah Tahsiniyah
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu; agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu diantaranya harus didahulukan.
Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaanya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan. Oleh karena itu:
  1. Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuri.
  2. Diperbolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuri.
  3. Diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam akad salam pesanandan pekerja industry, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.








DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Prof.Dr.H.Amir,Ushul Fiqh:Jilid 2,2008.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Khallaf Prof.Dr.Abdul Wahhab,Ilmu Ushul Fikih:Kaidah Hukum Islam,2003.Jakarta:Pustaka Amani
Muhammad Syah Prof.Dr.H.Ismail,S.H.,dkk.,Filsafat Hukum Islam.1992.Jakarta:Bumi Aksara
Koto,M.A Prof.Dr.Alaiddin.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh:Sebuah Pengantar Edisi Revisi,2009.Jakarta:Rajawali Press
Djamil,M.A Dr.H.Fathurrahman.,Filsafat Hukum Islam,1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu
Haroen,M.A Dr.H.Nasrun.,Ushul Fiqh 1,1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu


1 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh:Jilid 2,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2008),hlm.328
2Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fikih:Kaidah Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Amani,2003),hlm.299
3 Prof.Dr.H.Ismail Muhammad Syah,S.H.,dkk.,Filsafat Hukum Islam.,(Jakarta:Bumi Aksara,1992),hlm.124
4 Dr.H.Nasrun Haroen,M.A.,Ushul Fiqh 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997).hlm.116
5 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh:Sebuah Pengantar Edisi Revisi,(Jakarta:Rajawali Press,2009),hlm.125
6 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214
7 Ibid
8 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
9 Dr.H.Nasrun Haroen,M.A.,op.cit.,hlm.116
10 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
11 Dr.H.Fathurrahman Djamil,M.A.,Filsafat Hukum Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997).hlm.128-131
12 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214-215
13 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125
14 Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,op.cit.,hlm.300
15 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.214-215
16 Ibid
17 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.215-216
18 Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin op.cit.,hlm.216
19 Ibid
20 Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,op.cit.,hlm.303
21 Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.,op.cit.,hlm125-126
22 Ibid.,hlm126
23 Ibid